Wahana saling berbagi dan silaturahmi

Maulid, haul, dan Tahlil :

Maulid, Haul
dan Tahlil : Bid'ah ?

Tanya :

Ass.wr.wb, Ustaz,
kenapa maulid,
tahlil,haul, dan
semua acara syiar
syiar Allah dan
Rasul saw disebut bid'ah,

kalau karena itu tak
dilakukan di zaman
Nabi saw, maka
bukankah Al Qur'an itu bid'ah?,

karena pengumpulan ayat ayat Alqur'an blm ada di zaman Nabi.saw?,dan Shahih Bukhari dll pun bid'ah,karena Nabi saw tak pernah memerintahkan untuk mengumpulkan haditsnya menjadi kitab, bahkan partai dan kampanye pun bid'ah, karena Rasul saw,Sayidina Abubakar ra, Sayidina Umar ra, Sayidina Utsman ra, dan Sayidina Ali ra tak pernah mengenal partai dan kampanye?, tapi ini semua tak pernah disebut bid'ah, yang disebut bid'ah adalah maulid,haul,tahlil dan semua ajaran yang tak sesuai dg Ibn Abdulwahhab. mohon penjelasan. (maaf jangan salah sangka dg pertanyaan saya yang sekilas kurang sopan, sbnrnya bukan begitu,tapi besarnya semangat saya utk mndpt penjelasan)

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Alhamdulillah kami pun tidak salah sangka kepada Anda. Pertanyaan Anda itu sangat wajar dan seringkali kami terima dari banyak orang.

Maulid, haul dan tahlil (MHT) serta sekian banyak acara lain yang sejenis memang seringkali dituding sebagai bid’ah oleh sebagian orang. Tapi Anda tidak perlu berkecil hati bila termasuk aktifis MHT ini. Juga tidak perlu merasa sesak nafas dan naik darah. Biarlah orang-orang menuding demikian, toh yang Anda sebenarnya bertujuan baik dan niatnya ikhlas, betul ?

Kenyataannya bahwa acara Maulid itu memang sudah menjadi ritual kebiasaan bangsa-bangsa muslim di seluruh dunia. Sama halnya dengan Haul dan Tahlilan. Bukan hanya ada di Indonesia saja, tetapi di Mesir bahkan di Saudi Arabia pun banyak orang yang melaksanakannya.

Kalau dikatakan bahwa MHT ini tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, memang hal itu benar sekali. Tetapi langsung memvonis apapun kegiatan yang tidak ada di masa beliau sebagai bid’ah rasanya agak terburu-buru. Sebab -seperti yang Anda sampaikan-, ada banyak hal yang dilakukan oleh para shahabat sepeninggal Rasulullah SAW yang dahulu tidak pernah Rasulullah SAW perintahkan.

Akan halnya MHT ini, memang bila sudah kepalang dijadikan bagian dari ritual peribadatan, tentu kita khawatir menjadi sebuah hal yang tidak punya dasar masyru’iyah. Sebab memang tidak ada dalil baik dari Al-Quran Al-Karim dan sunnah yang bisa dijadikan dasar untuk sebuah ritual peribadatan yang namanya MTH.

Karena itu dasar yang bisa digunakan adalah dari sisi mashlahat, bukan dari sisi ibadat. Untuk itu tidak ada salahnya bila kita pun melakukan evaluasi ataus semua rutinitas MTH selama ini.

Kalau sebuah acara sudah menjadi rutinitas yang hampa, dari tahun ke tahun hanya itu-itu saja hasilnya, tidak memberikan perubahan yang berarti, tidak punya nilai tambah yang lebih, tidak punya nilai greget, cenderung menjadi ritual yang membosankan, tidak ada salahnya bila dilakukan pemikiran ulang.

Sebab masih banyak pe-er umat ini yang harus segera diselesaikan, ketimbang mengulang-ulang ritual yang harus diakui bahwa dasarnya perintahnya secara sharih tidak ada. Paling tidak, kalau masih ingin mempertahankan acara MTH, haruslah ada alasan yang inovatif, konstruktif, punya nilai tambah yang pasti dan juga tidak sampai merubah persepsi umat sehingga dianggap sebagai bagian dari ibadah ritual mahdhah.

Jadi kita memang harus berlapang dada ketika saudara kita mengatakan bahwa MHT itu bid’ah karena kita harus akui telah kehilangan makna atas rutinitas itu. Tapi jangan kecil hati karenanya.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Maulid Dan Isra Miraj

Tanya :

Perayaan maulid nabi dan isra mi‘raj menjadi kontroversial yang panjang, sepengetahuan kami ulama-ulama yang tepercaya cenderung menganggap bidah, meski untuk menyikapi kejadian di lapangan kita sepakat untuk berhati-berhati masalahnya batasan kehati2an kadang-kadang terlalu longgar, masih banyak aktivis dakwah yang menyelenggarakan walau dalam keadaan tidak terpaksa, sungguh lebih afdhol kita meninggalkannya, dalam hal ini saya sangat kecewa dgn rekan-rekan sesama aktivis, mohon komentar/taujih ustad.

Jawaban:

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Islam mempunyai dua hari raya yang besifat formal dan punya landasan syar‘i yang pasti (tsabit), yaitu Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha. Selain keduanya, pada dasarnya Islam tidak memberikan legitimasi formal untuk mengadakan dan memperingati hari raya.

Sehingga bila saat ini kita mendapati sebagian umat Islam mengadakan peringatan hari raya selain yang dua tersebut, maka bisa kita pastikan bahwa dasar hukum yang tegas dan eksplisit baik dalam Al-quran mapun Al-Hadits tidak pernah ditemukan. Karena memang kenyataannya, di masa Rasulullah SAW, para shahabat dan juga tabi‘in hingga beberapa generasi sesudahnya, tidak pernah mengadakan perayaan hari raya secara ritual formal kecuali Idul Fitrhi dan Idul Adha saja.

Peringatan Maulid atau kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai contoh, baru diadakan paling tidak pada abad ketiga hijriyah. Artinya setelah generasi Rasulullah SAW meninggal selama 300-an tahun lamanya barulah perayaan itu muncul pertama kali.

Dalam kitab Ianatutalibin jilid 3 halaman 363 disebutkan bahwa orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid nabi adalah Raja Al-Muzaffar Qutz. Beliau adalah salah seorang penguasa dari bani . . . . Diriwayatkan bahwa untuk menyatukan barisan umat Islam dalam menghadapi tekanan musuhnya, sang raja membutuhkan sebuah momentum untuk menyemangati rakyat. Momentum itu adalah peringatan hari lahir Rasulullah SAW, dimana di dalam momentum itu rakyat dibakar emosi dan ghirah Islamnya dengan dibacakannya sejarah kelahiran Nabi SAW. Nampaknya strategi ini lumayan berhasil, buktinya dalam waktu singkat, sang penguasa berhasil membakar semangat juang rakyat dan berhasil mematahkan pertahanan lawan.

Namun oleh sebagian umat ini, peringatan maulid ini dipertahankan setiap tahun lengkap dengan pembacaan sejarah kelahiran nabi. Meski momentumnya sudah tidak membutuhkan semacam perhelatan ini lagi. Justru disinilah nampaknya letak titik masalahnya, yaitu apakah kita dibenarkan untuk mengadakan peringatan maulid ini setiap tahunnya sehingga seolah-olah menjadi sebuah ritual dan seremoni tersendiri yang sejajar dengan ibadah mahdhah lainnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa hal itu sebaiknya dihindari, karena akan melahirkan kesalah-mengertian pada generasi berikutnya. Dimana bisa saja pada generasi tertentu peringatan maulid ini menjadi sebuah ritus ibadah mahdhah yang baru dan diada-adakan. Padahal Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkannya.

Namun ada juga ulama yang melihat dari sisi realitas manfaat dan masih memberikan kelonggaran untuk tetap diadakannya maudlid ini. Asal dengan syarat tertentu dan tidak keluar dari garis-garis syariat Islam.

Sedangkan buat para aktifis dakwah, sebaiknya kebijakan untuk mengadakan atau terlibat dalam acara peringatan maulid ini dimusyawarahkan dan dibicarakan secara hati-hati dan melibatkan banyak pihak. Terutama para pakar syariah, juru dakwah dan juga tokoh masyarakat. Semua sisi harus ditimbang manfaat dan madharatnya sesuai dengan kondisi masyarakat. Syuro ini menjadi penting karena di dalamnya bisa terlihat kemungkinan mana yang paling baik. Dan juga menyatukan visi gerakan dakwah dalam satu langkah bersama agar tidak terjadi pembicaraan yang tidak produktif bahkan saling curiga dan saling kritik.

Satu hal yang paling penting untuk dicatat bahwa kondisi dakwah di setiap tempat pasti berbeda. Karena tiap tempat punya latar belakang mazhab, tokoh agama, opini dan budaya yang berbeda. Sehingga untuk membuat kebijakan yang bersifat sentralistik dan menasional nampaknya bukan hal yang bijaksana. Yang baik adalah bahwa tiap aktifits dakwah di masing-masing wilayahnya adalah orang yang paling paham dengan karakteristik masyarakatnya. Biarlah mereka bermusyarah untuk menentukan sikap terhapap ritual-ritual itu.

Wallahu a‘lam bishshowab. Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

http://www.syariahonline.com/konsultasi/?act=view&id=289

Nasyid Haddad Alwi Dan Sulis

Tanya :

Assalamu'alaikum wr. wb. Berkenaan dengan pertanyaan tentang syiah saya ingin bertanya tentang nasyid-nasyid yang dibawakan oleh Haddad Alwi dan Sulis yang intinya menganjurkan sholawat dan kecintaan terhadap ahlul bait. 1. Apakah nasyid-nasyid mereka itu propaganda syiah? 2. Saya senang dengan nasyid-nasyid Haddad Alwi dan mengkoleksi semua nasyidnya. Apakah boleh memiliki dan mendengarkannya? 3. Apakah imam-imam yang mereka klaim yang 12 orang itu berpaham syiah atau mereka hanya dicatut namanya? (Selain yang ustadz jelaskan sebelumnya : Imam Ali, Hasan, Husain dan Ali Zainal Abidin)

Sekian dan terima kasih.

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.

Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Mencintai ahlul bait merupakan bagian dari ajaran Islam, karena Rasulullah SAW memang menganjurkannya. Hanya saja persoalannya, siapakah hari ini yang layak disebut sebagai ahli bait Rasulullah SAW ? Dan bagaimana bentuk teknis mencintai ahlul bait ?

Pada dua pertanyaan inilah umat Islam banyak tidak bersepakat. Begitu banyak kelompok dan kalangan dalam Islam yang mengaku sebagai ahli bait yang paling syah. Diantaranya adalah kelompok syiah. Dan syiah sendiri sebenarnya terdiri dari sekian banyak aliran dari yang paling ekstrim hingga yang biasa-biasa saja. Dari kalangan yang bisa dikatakan sudah keluar dari aqidah yang benar hingga kalangan yang masih bisa ditolelir pemahamannya.

Begitu juga perbedaan pandangan tentang teknis mencintai ahli bait. Sebagian ada melakukannya dengan mengadakan ritual semacam maulid nabi setiap malam jumat, yang lainnya ada yang membuat syi’ir-syi’ir yang memuji nabi dan keluarganya. Bentuk-bentuk syi’ir itu pun sangat bervariasi, dari yang hanya sekedar menyebut-nyebut fadhilah (keuatamaan) keluarga nabi hingga sampai bentuk yang ekstrim dan keterlaluan sehingga melewati batas pengkultusan mereka. Meski bisa dipahami bahwa bahasa syi’ir biasanya menggunakan gaya hiperbol dimana unsur melebih-lebihkan menjadi ciri khas utama.

Namun tetap saja keutuhan makna hakiki secara batas aqidah dan syariah tidak boleh dilanggar begitu saja. Dalam masalah inilah sering terjadi perbedaan penilaian, apakah sebuah bait syi’ir dianggap sudah melewati batas atau tidak. Biasanya yang melewati batas itu bila sudah sampai kepada mencaci maki shahabat yang bukan dari kalangan ahli bait. Atau yang sampai kepada pengkultusan sosok para imam yang diyakini menjadi pewaris syah dari imamah. Dan memang tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh aqidah syiah sangat mungkin terdapat dalam bait-bait syiir itu. Namun selama secara zahir tidak mengandung hal yang melanggar aqidah dan syariah, pada dasarnya memuji ahli bait tidak bisa disalahkan seratus persen. Apalagi bila pada kenyataannya, yang dipuji itu memang memiliki kualifikasi sesuai dengan apa yang dipujikannya.

Misalnya mereka sering memuji Rasulullah SAW sebagai kota ilmu dan Ali bin Abi Thalib sebagai pintu dari kota ilmu itu. Pada kenyataannya memang benar bahwa Ali bin Abi Thalib termasuk salah seorang shahabat Rasulullah SAW yang diberikan keluasan ilmu oleh Allah SWT. Tapi kalau sampai mengatakan bahwa hanya Ali yang berhak atas jabatan khalifah sepeninggal Rasulullah SAW, apalagi sampai mengatakan bahwa Jibril salah menurunkan wahyu yang seharusnya kepada Ali, maka ini jelas-jelas penghujatan atas aqidah Islam dan tentunya sesat.

Karena itu kita tidak bisa secara serampangan menuduh suatu kalangan sebagai syiah atau bukan, karena kita perlu merinci dan mendalami nilai dan pandangan mereka secara mendalam.

Begitu juga dalam masalah syi’ir-syi’ir yang mengandung pujian kepada ahli bait, perlu dibahas dan ditelaah satu persatu untuk mengetahui apakah halitu bisa dikategorikan melanggar aqidah atau masih dalam batas toleransi. Semua itu akan menjadi sangat baik bila masing-masing kalangan duduk bersama dan membahas dengan kepala dingin dan hati yang dipenuhi kemesraan sebagai sesama muslim.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/konsultasi/?act=view&id=2842

          Hak cipta dilindungi oleh Allohu Subhanahu wa Ta'ala
TIDAK DILARANG KERAS mengcopy, memperbanyak, mengedarkan
  untuk kemaslahatan ummat syukur Alhamdulillah sumber dari swaramuslim dicantumkan